BAB
1
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
Setiap
orang pasti sudah tahu kalau langit itu berwarna biru pada siang hari, berwarna
jingga pada saat terbit dan terbanam matahari, dan akan berubah menjadi hitam
saat malam hari. Tetapi, apakah mereka tahu apa yang menyebabkan warna – warna
tersebut muncul. Mungkin jika kita tanya pada beberapa orang mengapa langit
pada siang hari berwarna biru mungkin jawabannya karena pantulan cahaya dari
laut yang berwarna biru. Tetapi, apakah jawaban tersebut benar dan dapat
dibuktikan secara ilmiah? Untuk mencari tahunya, kita harus melalui serangkaian
penelitian ilmiah. Namun, penelitian ilmiah tersebut tidak boleh dilakukan asal
– asalan. Suatu penelitian ilmiah harus melalui suatu metode penelitian yang
dinamakan METODE ILMIAH. Untuk melakukan penelitian dengan tujuan
menjawab pertanyaan tersebut dapat kita lakukan dengan metode ilmiah. Jika kita
menggunakan metode ini untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita akan
mendapatkan jawaban ilmiah disertai dengan beberapa bukti yang mendukungnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apakah
langit memiliki warna?
2. Mengapa
langit berwarna biru pada siang hari?
3. Mengapa
pada saat terbit dan terbenam matahari langit berwarna jingga kemerahan?
4. Mengapa
langit malam terlihat hitam gelap?
1.3 TUJUAN
1. Untuk
memenuhi tugas dari guru kami.
2. Untuk
memperoleh jawaban ilmiah dari pertanyaan tersebut yang didapat dengan
menggunakan teknik metode ilmiah.
3. Untuk
memberikan informasi kepada para pembaca mengenai penyebab langit berwarna
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 LANGIT
TIDAK BERWARNA
Banyak
yang beranggapan bahwa langit itu berwarna biru. Namun, faktanya tidak. Langit
yang kita lihat merupakan bagian dari lapisan atmosfer bumi. Atmosfer bumi yang
merupakan kumpulan dari gas – gas dan partikel – partikel kecil sebenarnya
tidak memiliki warna. Begitu juga dengan cahaya matahari yang sebenarnya hanya
berupa cahaya putih. Lalu, apa penyebab langit berwarna biru?
2.2 PENYEBAB
LANGIT BERWARNA BIRU PADA SIANG HARI
Warna Langit pada siang hari |
Apabila
seseorang dikasih pertanyaan mengapa langit berwarna biru, maka kebanyakan akan
menjawab kalau langit berwarna biru karena merupakan pantulan dari laut yang
berwarna biru juga. Sebenarnya, pendapat ini hanyalah mitos. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut sudah banyak ilmuan yang berusaha memecahkan masalah
tersebut.
Jawaban yang cukup memuaskan secara ilmiah baru muncul pada
tahun 1871, saat seorang ilmuwan bernama John William Strutt, atau dikenal juga
sebagai Baron Rayleigh yang ke-3, memberikan penjelasan akan sebuah efek yang
disebut hamburan Rayleigh (Rayleigh scattering).
Penjelasan mengenai
mengapa langit berwarna biru sebenarnya hampir sama dengan penjelasan mengapa
pelangi muncul ketika gerimis. Cahaya matahari yang dipancarkan ke bumi
merupakan cahaya putih yang terdiri dari radiasi dan gelombang elektromgnetik.
Cahaya putih tersebut sebenarnya merupakan kumpulan dari cahaya – cahaya
berwarna dengan panjang gelombang yang berbeda – beda. Ketika cahaya putih
tersebut memasuki atmosfer bumi, mata kita hanya dapat melihat cahaya berwarna
atau disebut juga spektrum cahaya tampak yang terdiri dari warna Merah, Jingga,
Kuning, Hijau, Biru, Nila, dan Ungu atau disingkat menjadi me-ji-ku-hi-bi-ni-u.
Peristiwa diatas dinamakan juga dispersi cahaya atau penguraian cahaya putih
matahari menjadi cahaya – cahaya berwarna. Untuk memahami penjelasan tadi, kita
dapat menggunakan sebuah kaca prisma dan cahaya matahari. Ketika cahaya
matahari yang aslinya merupakan cahaya putih menembus kaca prisma, maka cahaya
putih tersebut akan terurai menjadi cahaya – cahaya berwarna seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Setiap dari cahaya berwarna tersebut memiliki panjang
gelombang yang berbeda- beda. Cahaya dengan gelombang yang panjang adalah
cahaya merah, sedangkan cahaya gelombang pendek adalah cahaya ungu.
Peristiwa Dispersi Cahaya |
Perbandingan Panjang Gelombang Cahaya Tampak |
Ketika
cahaya putih matahari melewati bidang tembus pandang berbentuk prisma atau
tetesan air hujan gerimis, maka cahaya putih tersebut akan tehamburkan dan
menghasilkan cahaya warna – warni. Lain halnya ketika cahaya putih melewati
atmosfer bumi. Ketika cahaya putih dari matahari tersebut menabrak partikel –
partikel kecil yang tak kasat mata di atmosfer seperti nitrogen, oksigen, uap
air, debu, dan lain lain, maka partikel – partikel tersebut akan membiaskan
atau menyebarkan cahaya bergelombang pendek seperti biru dan ungu ke berbagai
arah. Sedangkan cahaya bergelombang panjang seperti merah dan jingga tidak
dibiaskan dan akan tetap diteruskan hingga ke bumi. Fenomena inilah yang
dinamakan dengan fenomena hamburan Rayleigh (Rayleigh scattering).
Gambaran tentang Fenomena Hamburan Rayleigh |
Sebenarnya, partikel atmosfer lebih banyak menyebarkan
warna ungu daripada warna biru. Lalu, mengapa kita melihat langit berwarna
biru? Bukan berwarna ungu? Hal ini dikarenakan karena mata kita lebih peka
melihat warna biru. Di dalam retina mata kita, terdapat sel – sel peka cahaya.
Sel – sel tersebut lebih peka pada warna merah, hijau, dan biru. Selain itu, porsi cahaya biru dalam sinar matahari jauh lebih banyak
daripada cahaya ungu. Dengan demikian, meskipun cahaya ungu lebih mudah
tersebar, jumlah cahaya biru yang lebih banyak membuat pengaruh cahaya ungu tak
terlihat.
Ilustrasi mengenai fenomena Hamburan Rayleigh |
2.3 PENYEBAB LANGIT BERWARNA JINGGA KEMERAHAN
PADA SAAT TERBIT DAN TERBENAM MATAHARI
Langit ketika terbenam matahari |
Pertanyaan mengenai warna langit
ketika terbit dan terbenam matahari juga dapat dijelaskan dengan penjelasan
mengenai efek Hamburan Rayleigh.
Ketika matahari terbit, cahaya matahari akan muncul dan
akan bertabrakan dengan molekul-molekul gas di atmosfer, dan akan terjadi yang
namanya peristiwa ‘penghamburan cahaya’. Maksudnya, panjang cahaya yang
lebih pendek akan berhamburan, alias spektrum biru dan ungu yang punya gelombang
terpendek dan frekuensi terbanyak itu akan muncul lebih dulu. Itulah yang
menyebabkan langit fajar warnanya ungu kebiruan. Mengenai warnanya yang lalu
berubah jadi jingga kemerahan, disebabkan karena saat dihamburkan tadi, cahaya
matahari yang sampai di horison (batas langit dan bumi) sehingga jaraknya dari
atmosfer juga akan semakin jauh, maka yang tersisa adalah warna hangat yang
terfokus. Itulah kenapa warna langit fajar ungu-kebiruan lalu berubah menjadi
jingga kemerahan.
Ketika matahari terbenam, sinar
matahari juga akan melalui lapisan atmosfer yang tebal sehingga cahaya matahari
akan menempuh perjalanan lebih jauh di atmosfer Bumi, dan
selama perjalanan itu, cahaya biru yang dimilikinya terus dihamburkan oleh
molekul nitrogen dan oksigen di atmosfer. Cahaya biru tersebut dihamburkan di
daerah lain. Akibat proses tersebut, sinar matahari yang semula cenderung putih
sudah kehilangan banyak bagian dari cahaya biru. Cahaya putih yang kehilangan
cahaya biru akhirnya akan terlihat sebagai sebuah cahaya kemerahan. Rona
kemerahan atau rona oranye inilah yang muncul saat terbenamnya matahari.
Percobaan mengenai warna langit pada saat terbit dan terbenam matahari |
2.
4 PENYEBAB LANGIT MALAM TERLIHAT HITAM
GELAP
Langit
malam terlihat hitam gelap karena pada saat itu belahan bumi tempat kita
berpijak tidak lagi disinari oleh matahari. Hal ini terjadi karena bumi kita
terus berputar pada porosnya menyebabkan satu belahan bumi mendapat sinar
matahari dan sebelah yang lain tidak mendapat sinar.
Selain
itu, saat malam hari, meskipun tidak ada sinar matahari, kita tetap disinari
oleh cahaya bulan hasil pantulan dari sinar matahari dan cahaya – cahaya
bintang. Namun, cahaya – cahaya tersebut tidak seterang cahaya matahari.
Mengapa?
Pertanyaan “Mengapa langit malam terlihat
gelap?” kemudian lebih dikenal dengan sebutan
“paradoks Olbers”, dari nama seorang fisikawan Jerman, Heinrich Olbers
(1758-1840). Menurut Olbers, paradoks ini menyiratkan bahwa alam semesta tidak
statis, membantah keyakinan banyak astronom masa itu.
Kita bisa ikuti penjelasan Olbers
untuk jawaban dari pertanyaan “mengapa langit malam terlihat gelap” dengan
pertama-tama membayangkan sebuah alam semesta yang tanpa batas,
bintang-bintangnya tersusun secara merata di semua daerah. Bisa diartikan,
jarak antara tiap bintang selalu sama sehingga jumlah bintang bertambah secara
teratur dengan bertambahnya jarak.
Kemudian, diketahui secara umum
bahwa kecerahan bintang berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Artinya,
jika sebuah bintang dipindahkan 2 kali lebih jauh, cahayanya akan menjadi 4
kali lebih lemah. Namun, itu berarti bintang terlihat 2 kali lebih kecil, dan
“luas bidang” bintang (dalam hal ini, luas dari “lingkaran” citra bintang yang
teramati) juga mengecil 4 kali.
Perhatikan bahwa baik cahaya dan
“luas bidang” bintang sama-sama mengecil 4 kali. Inilah yang disebut “kecerlangan
permukaan”, kuat pancar cahaya per unit luas bidang. Besaran ini tetap untuk
bintang dengan warna serupa.
Meski ‘luas bidang’ sebuah
bintang seringkali amat kecil, dan selalu terlihat sebagai sebuah titik cahaya
meski diamati dengan teleskop tercanggih, kecerlangan permukaan ini nilainya
cukup besar. Buktinya, bintang yang sekecil itu cahayanya masih bisa kita amati
di langit malam yang berhiaskan bintang.
Sekarang bayangkan bintang yang
sedemikian banyaknya itu bersinar di langit malam. Meskipun masing-masing
bintang bersinar lemah, jika mereka bersama-sama tentu cahayanya akan saling
menguatkan dan seharusnya langit malam hari terlihat cerah. Nyatanya, langit
tetap terlihat gelap. Ini bisa terjadi setidaknya karena dua hal, yaitu cahaya
yang terlalu lemah untuk diproses oleh mata atau memang tak sampai ke mata.
Ilmuwan modern menjelaskan cahaya
yang tak terproses mata ini, dengan memaparkan bahwa selama cahaya menjelajahi
alam semesta, alam semesta ini berubah dan mengembang. Jarak dalam ruang terus
meluas sehingga cahaya harus menempuh jarak yang lebih jauh daripada jarak
sebenarnya antara sumber cahaya dan pengamat. Hal ini tak mungkin terjadi jika
alam semesta bersifat statis.
Paradoks Olbers memicu para
astronom berpikir ulang mengenai model alam semesta yang seharusnya. Di
antaranya yang diakui para ilmuwan saat ini adalah penelitian Georges LemaƮtre
dan Edwin Hubble seputar pengembangan alam semesta melalui Hukum Hubble yang
terkenal itu. Bukti pengembangan alam semesta kemudian ditemukan tahun 1964
oleh Arno Penzias dan Robert Wilson, berupa pancaran gelombang mikro yang
seragam dari seluruh penjuru semesta.
Kini banyak orang sudah memahami bahwa alam semesta mengembang,
melalui teori Dentuman Besar (“Big Bang”). Akan tetapi, teori
Dentuman Besar ini menimbulkan pertanyaan baru terkait paradoks Olbers. Menurut
teori Dentuman Besar, alam semesta muda adalah alam semesta yang amat panas,
dan juga terang. Jika dulu alam semesta terang, mengapa
kini kita melihat alam semesta yang gelap di malam hari?
Untuk menjelaskan ini, bayangkan alam semesta yang terang oleh
cahaya. Setiap pancaran cahaya ini berbentuk gelombang sehingga ia mempunyai
panjang gelombang tertentu yang saat itu besarnya cukup untuk terlihat oleh
mata manusia (biasa disebut cahaya tampak). Seiring
mengembangnya alam semesta, ruang di dalamnya ikut mengembang. Cahaya di
dalamnya juga ikut mulur sebagai akibat dari mengembangnya ruang.
Sebagai akibat dari “pemuluran”
gelombang cahaya, panjang gelombangnya mulur menjadi lebih dari 1100 kali
panjangnya semula. Alhasil, “gelombang cahaya tampak” ini sekarang telah
“berubah wujud” menjadi “gelombang mikro”, gelombang tak kasat mata yang biasa
dipakai untuk menghangatkan makanan dalam oven jenis tertentu. Pancaran
gelombang mikro inilah yang ditemukan Penzias dan Wilson dan menjadi bukti kuat
akan teori Dentuman Besar.
Sebelumnya, telah disampaikan dua
jawaban atas pertanyaan Olbers: cahaya yang terlalu lemah untuk diproses oleh
mata, atau cahaya yang memang tak sampai ke mata. Dari penemuan Penzias dan
Wilson, rupanya ada jawaban ketiga: memang betul-betul ada cahaya yang
dipancarkan yang tak lagi kasat mata!
BAB
3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Langit
yang kita lihat merupakan atmosfer bumi yang terdiri dari berbagai macam gas
dan partikel yang sebenarnya tidak berwarna. Warna dari langit disebabkan
karena fenomena penghamburan cahaya matahari. Fenomena ini disebut juga
Hamburan Rayleigh. Ketika siang hari, sinar putih matahari akan dihamburkan
oleh partikel – partikel di atmosfer sehingga berubah menjadi sinar biru yang
dapat dilihat oleh mata kita. Ketika matahari terbit dan terbenam, sinar
matahari akan melewati lapisan atmosfer yang tebal, sehingga sinar biru sudah
dihamburkan duluan di daerah lain dan tersisa cahaya jingga kemerahan. Ketika malam
hari, langit menjadi gelap karena tidak mendapat cahaya matahari dan hanya
mendapat sedikti cahaya matahari dari pantulan bulan dan cahaya – cahaya
bintang. Namun, cahaya tersebut tidak seterang cahaya matahari karena setiap
bintang memiliki jarak yang jauh dengan bintang yang lain sehingga cahaya yang
sampai ke mata kita tinggal sedikit.
3.2 SUMBER INFORMASI
Komentar
Posting Komentar